KPR solusi utk punya rumah? Itu mah Dulu….

Standard

Banyak hal yang menarik dari aturan BI mengenai LTV(Loan to Value) yang juga didalamnya berisi tentang pengetatan kpr inden yg banyak membantu developer dalam pengembangan usahanya dalam beberapa tahun terakhir.

KPR yang 10 tahun kebelakang merupakan sarana banyak debitur untuk memiliki hunian beberapa tahun belakangan ini menjadi komoditas yang sulit diraih bahkan untuk calon pembeli rumah bersubsidi sekalipun. 

Kenyataan di lapangan yang dialami saya sebagai pengembang maupun banyak pengembang lainnya adalah 
1. Karena aturan LTV yang mengatur besaran nilai DP menyebabkan orang tua yang ingin membelikan anaknya rumah jadi kesulitan membayar DP karena mereka sendiri memiliki fasilitas KPR yang sedang berlangsung. Jadi DP untuk rumah kedua mesti nambah lagi 10%. Padahal mereka bukan spekulan lo, ini realita di lapangan.

2. Kesulitan memproses calon debitur KPR untuk rumah pertama. Biasanya calon debitur model ini jarang memiliki mutasi rekening perbankan yang baik, mereka cenderung memegang dana tunai sehingga perputaran uang di rekeningnya terlihat sangat sedikit bahkan ada yang tidak punya rekening, terus dengan kondisi ini mana bisa lolos bank? Karena dasar bank untuk meloloskan kredit adalah salah satunya dengan melihat mutasi rekening.

3. Juga untuk kondisi KPR rumah pertama, akibat dari lemahnya edukasi mengenai pentingnya menjaga kualitas nasabah di history BI, sangat sangat banyak sekali calon debitur yang tidak menjaga kualitas atau track record kredit mereka. Contoh: hampir semua calon debitur model ini punya kredit sepeda motor, karena kurang edukasi tentang track record kredit / riwayat kredit kadang mereka disaat tertentu lupa atau tidak membayar angsurannya tepat waktu sehingga ketika dilakukan BI checking terjadi lah (Kolektibilitas) Kol-2/3/4/5 yang menunjukkan kelancaran pembayaran kredit (semakin besar angkanya semakin kurang lancar). 

4. Beban awal saat pencairan kredit KPR selalu menjadi dilema bagi calon debitur rumah pertama, karena uang tabungannya hanya cukup untuk melunasi DP, jadi saat kena beban admin dan provisi bahkan asuransi jadi tambahan beban baru buat mereka.

Mestinya kalau memang pemerintah memiliki niat untuk mendorong banyak orang memiliki rumah pertama khusus untuk rumah pertama harus bebas segala biaya. Masih banyak lagi kasus-kasus yang terjadi di lapangan yang perlu dibijaksanai oleh OJK selaku pengawas kegiatan perbankan, agar tidak sekedar ketat tapi dampaknya malahan berakibat jauh dari target sejuta rumah untuk Indonesia.

Beberapa tahun yang lalu, ada fasilitas untuk usaha pengembang yang namanya KPR indent yang sangat mendukung usaha ini maju, khususnya dalam hal keringanan kredit untuk membangun perumahan sehingga pengembang tidak perlu mengajukan kredit konstruksi dalam rangka membangun perumahannya. 

Namun belakangan akibat dari aturan LTV, KPR indent ini ditiadakan karena banyak pengembang yang setelah cair KPR indentnya rumah tidak dibangun dan aturan tersebut di generalisasi alias pukul rata terhadap semua usaha pengembangan perumahan, tanpa diseleksi mana pengembang yang melaksanakan pembangunannya mana yang tidak. 

Sebenarnya yang salah itu pengembangnya karena pakai uang itu atau Banknya yang kasi KPR Indent ke semua pengembang baik yang jelas maupun yang abal-abal? Mestinya yang diatur itu Pemberian KPR indent-nya terhadap pengembang yang memiliki track record Baik, ya penilaian itu dilakukan oleh OJK sehingga yang abal-abal akan hilang dengan sendirinya.

Semenjak LTV berlaku pengembang banyak yang ketar ketir mengelola ketahanan kasnya, dan akhirnya mengajukan kredit konstruksi untuk membantu melanjutkan pembangunan rumah-rumah tersebut. Tapi ternyata kredit konstruksi juga tidak semua bank mampu mendanai dan cenderung diperketat.

Sehingga yg jadi pertanyaan adalah apakah aturan ini sebenarnya ingin menahan spekulan dalam hal pembelian properti? Atau justru menjatuhkan usaha ini? Karena tidak sedikit pengembang lokal daerah yang berguguran. Sementara pengembang besar yang berpusat di Jakarta tetap bisa hidup dengan capital besar maupun dengan dukungan pinjaman dari luar negeri dengan bunga rendah.
Hal ini harus dijadikan bahan pertimbangan oleh OJK/BI sehingga segala aturan yg dibuat benar2 dikaji dari berbagai sisi, untuk menahan spekulan oke saya setuju tapi untuk mematikan usaha pengembang properti dengan tidak menyalurkan kredit kontruksi? 

Sepertinya salah..
Konon Isu yang terjadi semenjak bulan Mei 2015 akan diterbitkan aturan baru mengenai keringanan terhadap LTV, namun teman2 perbankan sampai saat ini belum menerima surat edaran BI. Saya rasa pembuat kebijakan ini seharusnya cukup cerdas untuk mengetahui bahkan memprediksi ekonomi sedang menurun.

Mestinya sejak awal tahun 2015 sudah dilonggarkan sehingga roda ekonomi bisa berputar lagi. Usaha pengembangan perumahan itu menarik gerbong usaha lainnya yg jumlahnya ratusan, yang bisa menghidupi ratusan ribu bahkan jutaan tenaga kerja. 

Besar harapan saya dan termasuk juga beberapa teman pengembang tidak lagi semata-mata mendapatkan angin surga saja. Seperti yang sudah saya jelaskan diatas, masalah di lapangan tidak hanya DP tapi juga banyak hal lainnya khususnya persyaratan calon debitur, sehingga diperlukan kebijaksanaan OJK sebagai pengawas perbankan dalam hal pemberian KPR untuk rumah pertama sehingga target sejuta rumah untuk Indonesia bisa tercapai.

Jangan sampai KPR hanya seolah menjadi solusi dari negeri dongeng semata.

Semoga Bermanfaat

Gede Semadi Putra

One thought on “KPR solusi utk punya rumah? Itu mah Dulu….

Leave a comment